Jumat, 29 Januari 2016

Hari Selasa

Hari Selasa pukul 08.00 kupacu sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Tidak secepat biasanya, karena penglihatannku buram tertutup air mata. Tak bisa kuhentikan tangisku di pagi itu. Karena suatu hal, aku menangis lagi.

Setahun lebih aku meninggalkan mu, Peter. Maaf, Peter.
Aku tahu, seharusnya aku tak putus asa, seharusnya aku tak meninggalkanmu, seharusnya aku tetap bersamamu, setia menunggumu, dan pada saatnya tiba kau akan mengajakku terbang ke Neverland. Seharusnya itu sudah terjadi, iyakan, Pete?

Saat ini, aku hanya bisa menangis, menyesali keputusanku melepasmu, Pete :'(
Peter, setiap malam ku tatap langit berawan hitam. Gelap. Segelap, hatiku. Mataku membelalak menyusuri awan gelap yang menutupi cahaya dimana pertama kali aku melihatmu, bintang Utara yang paling terang itu. Kusimpan semua mimpiku disana. Kuyakinkan hatiku, suatu hari nanti kau akan membawaku kesana, ke bintang Uara yang terang itu, agar aku dapat mewujudkan mimpiku.
Peter, aku akan menunggumu kembali. Setiap hari, menunggumu, di tempat biasa.
Aku tak akan menyerah kali ini. Aku janji, Pete.

Rabu, 06 Januari 2016

AYAHKU


Ayah, kau memang bukan orang yang paling lembut hatinya, paling halus perkataannya. Aku sangat ingat kau tak pernah memuji ku. Meskipun aku melakukan sesuatu dengan baik, bukanya aku sombong ayah, tapi kau tak pernah memuji ku. Pasti selalu ada cela yang kau temukan di dalamnya. Cela itu selalu kau tekankan. Agar aku selalu mengingatnya. Ya, ayah. Aku ingat semua cela ku.

Aku ingat sekali ketika aku menangis di depanmu dan ibu. Itu pertama kalinya aku menangis di depanmu bukan sebagai anak kecil lagi. Kau ingat apa yang kau katakan? Kau malah memarahi ku dan mengatakan bahwa aku cengeng. Tak pernah sekalipun kau membela ku.

Semua yang kulakukan tak pernah bagus di matamu. Kau selalu bisa membuat keberhasilanku menjadi kegagalan.

Ayah, aku memang bukan anak perempuan yang anggun seperti doa yang kau berikan lewat namaku. Aku tak selalu menjadi peringkat pertama di bangku sekolah. Aku memang tidak lulus dengan predikat terbaik di perguruan tinggi. Aku memang masih tinggal bersamamu, menjalani kehidupan klise yang kau dikte padaku.

Ayah, aku mengerti kesulitanmu sekarang. Aku sudah dewasa. Aku tahu apa yang akan aku hadapi, takdirku.

Orang berkata, anak perempuan bukalah milik orang tuanya. Seorang anak perempuan hanyalah titipan untuk seorang pria yang berhak menjadi imamnya. Tapi bagiku, kaulah panutanku. Apapun yang akan terjadi, kau yang akan selalu menolongku.

Ayah, kulitmu sudah keriput, kau sering mengeluh lelah dan sakit di malam hari. Aku sedih mendengarnya, bingung.
Kenapa aku tak bisa membiarkanmu di rumah, melakukan pekerjaan ringan dan biarkan aku yang ke luar menghadapi dunia yang sudah lama kau arungi.

Ayah, kau memang tak pernah berkata manis padaku, tapi kehidupanku ini bersamamu, sebagai anakmu. Lebih dari sekedar manis bagiku. Terima kasih.