Rabu, 06 Januari 2016

AYAHKU


Ayah, kau memang bukan orang yang paling lembut hatinya, paling halus perkataannya. Aku sangat ingat kau tak pernah memuji ku. Meskipun aku melakukan sesuatu dengan baik, bukanya aku sombong ayah, tapi kau tak pernah memuji ku. Pasti selalu ada cela yang kau temukan di dalamnya. Cela itu selalu kau tekankan. Agar aku selalu mengingatnya. Ya, ayah. Aku ingat semua cela ku.

Aku ingat sekali ketika aku menangis di depanmu dan ibu. Itu pertama kalinya aku menangis di depanmu bukan sebagai anak kecil lagi. Kau ingat apa yang kau katakan? Kau malah memarahi ku dan mengatakan bahwa aku cengeng. Tak pernah sekalipun kau membela ku.

Semua yang kulakukan tak pernah bagus di matamu. Kau selalu bisa membuat keberhasilanku menjadi kegagalan.

Ayah, aku memang bukan anak perempuan yang anggun seperti doa yang kau berikan lewat namaku. Aku tak selalu menjadi peringkat pertama di bangku sekolah. Aku memang tidak lulus dengan predikat terbaik di perguruan tinggi. Aku memang masih tinggal bersamamu, menjalani kehidupan klise yang kau dikte padaku.

Ayah, aku mengerti kesulitanmu sekarang. Aku sudah dewasa. Aku tahu apa yang akan aku hadapi, takdirku.

Orang berkata, anak perempuan bukalah milik orang tuanya. Seorang anak perempuan hanyalah titipan untuk seorang pria yang berhak menjadi imamnya. Tapi bagiku, kaulah panutanku. Apapun yang akan terjadi, kau yang akan selalu menolongku.

Ayah, kulitmu sudah keriput, kau sering mengeluh lelah dan sakit di malam hari. Aku sedih mendengarnya, bingung.
Kenapa aku tak bisa membiarkanmu di rumah, melakukan pekerjaan ringan dan biarkan aku yang ke luar menghadapi dunia yang sudah lama kau arungi.

Ayah, kau memang tak pernah berkata manis padaku, tapi kehidupanku ini bersamamu, sebagai anakmu. Lebih dari sekedar manis bagiku. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar