Hari-hari aku habiskan di sekolah. Beberapa orang belum
akrab denganku, karena kelas kami diacak. Jadi, sekarang aku sekelas dengan
beberapa orang yang waktu kelas dua nggak sekelas denganku. Intinya, kami belum
begitu akrab, walaupun saling mengenal dengan baik. Malangnya, aku suka lupa
nama orang. Tapi, itu tak masalah bagiku. Sikap konyolku kadang membuat orang
lain prihatin dan memaklumi keadaanku ini.
Semua
guru yang masuk pada minggu ini hanya menjelaskan materi sekilas saja. Mereka
semua sibuk berpidato mengenai Ujian Nasional.
“Ya,
kalian harus siap dalam menghadapi UN. Caranya dengan belajar tekun dan jangan
sering membolos sekolah” Kata Pak Sidar, guru olah raga yang tubuhnya sangat
atletis, mirip Ade Rai. Tapi, mukanya mirip Jojon.
“Kalian
juga harus memiliki tubuh yang sehat dan bugar agar bisa konsentrasi penuh saat
kalian ujian nanti. Mengerti? Karena UN adalah penentu masa depan kalian sekarang.
Kalau kalian tidak lulus maka kalian sendri yang akan malu, jadi kalian harus
bersungguh-sungguh dalam menghadapinya” Katanya dengan mata melotot. Membuatku
yang duduk di bangku paling depan takjub melihatnya.
Aku
tahu maksud para guru itu baik. Mereka ingin agar anak didiknya serius dalam
belajar dan lulus dengan nilai yang baik. Tapi, kebanyakan dari mereka malah
membuat para siswa ketakutan. Apa lagi siswi perempuan, bahkan ada yang
menangis. Bisa-bisa mereka bunuh diri sebelum perang melawan UN. Kan repot
jadinya.
“Hey,
melamun aja! Sendirian aja?” Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Lalu dia
duduk di sampingku, tersenyum lebar.
“Eh, lu
tuh ngagetin gue tau!” Teriakku sambil mengelus-elus dadaku.
“Maaf
deh. Maaf, gitu aja marah. Kok nggak ke kantin sih? Lagi ngirit uang jajan ya?
Sama dong kayak gue. Gue juga lagi ngirit uang jajan soalnya gue dihukum sama
papah nggak dikasih uang jajan, cuman pas buat ongkos”Curhatnya. Aku tersenyum.
“Oh,
begitu. Um, nama lu itu Joko kan?” Tanyaku, ragu-ragu.
“Joko?
Emang gue mirip Ki Joko Bodo ya? Gue kan Harun. Masa lu nggak tahu sih”
Jawabnya, kesal.
“Maaf,
bukan maksud gu…..”
“Udah
nggak apa-apa kok. Kata temen-temen sih lu emang suka lupa nama orang gitu. Gue
maafin kok. Asal lu jangan sampe lupa nama lu aja, hahahaha….” Dia tersenyum
manis.
“Oh,
jadi gue terkenal kayak gitu ya?” Tanyaku penasaran.
“Iya,
temen-temen sering ngomongin lu yang kadang-kadang konyol, galak, suka lupa
nama orang lain, dan suka nabrak orang kalau jalan” Paparnya. Aku tertunduk
malu. Jadi, selama ini semua orang nganggep aku anak aneh.
“Nggak
usah dipikirin. Menurut gue lu itu lucu loh. Lu juga baik, rajin dan suka
nolong orang” Katanya. Dia selalu tersenyum manis setelah berbicara.
“Oh,
gitu ya? Heh, jadi malu juga ada yang ngomongin gue kayak gitu”
“Hahahahahhahaa…”
Suara tertawanya membuatku takut. Serem sih. Harun itu cowok ganteng tapi
konyol. Kata orang sih dia pinter. Tapi, nakalnya nggak ada ampun deh. Suka
ngejailin orang, bahkan guru pun tak terlewatkan.
“Oy!!!
Run, mau nggak nih gorengan gratis. Si Zaki ultah. Cepetan sini!” Teriak Bimo,
teman sebangku Harun.
“Yang
bo’ong? Jangan habisin!! Sisain buat gue!” Teriaknya.
“Cepetan
sini!” Teriak Bimo lagi. Padahal mereka nggak usah teriak. Mereka kan cuman
terpisah jarak dua baris meja. Lagi pula kelas kan lagi sepi. Dasar anak aneh.
“Um, lu
mau nggak, Kim?” Tanya Harun padaku.
“Nggak
usah. Gue lagi puasa” Jawabku penuh dusta. Emangnya puasa apa di hari Sabtu.
“Oh, ya
udah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar