Dua minggu sudah kulewati sebagai murid kelas tiga SMA. Aku
sudah Mendapatkan beberapa materi pelajaran dan tugas yang sangat banyak.
Tetapi, kepalaku masih memikirkan tawaran belajar nyetir mobil sama Bang
angkot. Aduh… Aku lupa namanya. Siapa ya? Yo…yo… apa gitu… Yoyo? Yono? Yoga?
Yogi? Oh, iya namanya Bang Yogi.
Waktuku
yang sangat banyak di hari minggu tak cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas
tanda selamat datang yang diberikan oleh para guru setiap mata pelajaran.
Mengeluh tak ada gunanya. Aku masih saja sempat memikirkan Bang angkot itu. Apa
aku diguna-guna ya? Ah, nggak mungkin. Wajahnya nggak mirip Ki Joko Bodo kok.
Apa aku nyari dia aja ya? Soalnya hatiku nggak bisa tenang.
“Kim,
Kenapa sih lu melamun terus? Bahan diskusi kita udah ada belum?” Tanya Nunung,
teman sebangkuku.
“Udah
ada. Lu tenang aja kali” Jawabku, sambil menyerahkan kertas-kertas yang
terjilid rapih pada Nunung.
“Wah,
hebat…. Lu jadi pendiam Kim? Jarang kaluar kelas, nggak lagi ngejar-ngejar ayam
Bu Kantin. Lu juga udah lama nggak ketemu Rama kan? Pasti kangen banget setelah
lu tabrak dia minggu yang lalu. Diem
terus, ada apa sih?” Tanya Nunung, khawatir melihat temannya yang biasanya
periang dan cerewet menjadi pendiam bak patung Belanda.
“Nggak
apa-apa kok. Gue cuman mau lebih konsentrasi belajar aja. Kan bentar lagi UN.
Ngapain mikiran Rama” Jawabku, tegas.
“Terserah
lu deh!! Sebentar lagi juga lu curi-curi pandang lagi sama dia. Cinta lu itu
udah nyangkut di hatinya Rama”
“Prettt,
ngomong apaan lu? Hari gini mikiran cinta? Cape deh” Kataku, sambil memegang
jidatku yang lumayan lebar.
“Terserah
lu deh” Nunung geleng-geleng kepala. Lalu dia pergi ke luar kelas. Paling juga
pergi ke kantin.
“Hey!
Diem aja Kim? Minggu ini lu masih ngirit uang jajan? Atau lu puasa lagi. Emang
bener ya, Kimi itu rajin anaknya” Harun langsung duduk di sampingku. Tersenyum
lebar dan sangat manis.
“Eh,
nggak kok. Males aja ke kantin. Rame, berisik lagi”
“Hahahahaha….
Bisa aja” Harun mendorong tubuhku yang kurus kering dengan tangannya yang
lebar.
“Bisa
aja lu, yang namanya kantin pasti rame lah. Kalau yang sepi di sono noh,
kuburan. Hahahaha…Atau lu baru putus sama pacar lu. Terus, nggak mau kaluar
kelas supaya nggak ketemu. Iya kan?”
“Iiiiihhh….
Orang gua nggak punya pacar. Mau putus dari siapa?”
“Oh,
jomblo? Padahal Kimi kan anaknya manis. Kok jomblo ya?”
“Hahahahah…”
Aku terpaksa tertawa, nggak tahu mau ngomong apa.
“Oh,
iya. Lu pulang sama siapa?” Tanya Harun, sedikit serius.
“Sendiri”
Jawabku.
“Naik
apa?” Tanya dia lagi.
“Um,
mobil angkot. Emang kenapa?”
“Angkot?
Masa sih?”
“Emangnya
salah kalau gue naik angkot?”
“Nggak
sih. Tapi, lu kan manis. Nanti diculik loh”
“Emangnya
gue gula, manis? Lagi pula kalau gua ini manis, nggak bakalan ada yang nyulik.
Kan yang naik angkot itu orang, bukan semut”
“Hahahahaha….
Lu lucu ya Kim…. Ya, kalau mau sih. Nanti pulangnya gua anterin, lu mau nggak?”
Tanya Harun, lebih serius lagi.
“Nggak
usah nanti gue ngerepotin. Lagi pula rumah gue jauh”
“Ya,
udah. Nggak apa-apa. Mungkin lain kali” Harun tersenyum lebih manis lagi.
***
Di
dalam mobil angkot, aku masih memikirkan sikap Harun kepada ku, dia baik juga.
Aku melihat sekeliling angkot. Mengingat kejadian ketika aku berusaha keras
membawa seorang wanita yang mau melahirkan. Mengingat bahwa nama bayi
perempuannya itu Siti Kimberly. Aneh banget orang tua itu. Untung saja namaku
bukan Siti Kimberly. Melainkan Kimberly Wijayanti.
“Bang
ada sopir angkot yang namanya Yogi nggak Bang?” Tanyaku.
“Yogi?
Nggak ada neng. Sopir baru, ya? Abang udah tiga tahun jadi sopir angkot nggak
ada temen abang yang namanya Yogi”
“Aduh
gimana ya. Saya jadi bingung, Bang”
“Yeh…
Neng aja bingung, apa lagi Abang yang nggak tahu apa-apa”.
Mobil
berhenti di depan perempatan jalan menuju rumahku. Rute mobil angkot nggak
lewat sana, walaupun jalannya lebar. Soalnya sepi sih.
Esok harinya aku masuk sekolah seperti biasa. Di pelajaran
terakhir, Bu Maya marah-marah. Karena ada beberapa anak yang nggak
menyelesaikan tugasnya. Memang sih tugasnya sulit banget. Tapi, aku jawab aja.
Mau bener mau nggak yang penting ngerjain. Nunung, salah satu dari murid yang
nggak ngerjain tugas itu, menunduk ciut.
“Kalian
ini sudah kelas tiga. Sebentar lagi kalian akan menghadapi UN. Gimana sih kalian!
Kalian seharusnya mencontoh Harun. Walaupun dia bandel dan males, tapi dia
ngerjain tugas. Kalian malu dong! Contoh juga Kimberly, walaupun jawabannya
salah semua, tapi dia udah ngerjain. Mau jadi apa kalian ini! Awas kalau kalian
sekali lagi seperti ini. Ibu jamin kalian nggak akan lulus SMA” Teriak Bu Maya
dengan galak.
“Yah,
bu jangan” Seorang anak mengeluh.
“Jangan
dong bu…” Semuanya serentak.
“Kalian
sendiri yang salah. Mau lulus SMA, kelakuan si kucing garong, eh, maksud ibu
kayak anak TK. Seharusnya kalian ubah kebiasaan buruk kalian ini. Kurangi
bermain, nongkrong dan hal-hal yang nggak berguna lainnya. Ya, sudah. Ibu
maafkan kalian kali ini. Tapi, tetap akan ada hukuman buat kalian” Bu Maya
kaluar kelas dengan muka yang penuh amarah. Aku sendiri merasa malu mendengar
kata-kata Bu Maya tentangku tadi. Tapi, tak apa lah.
Bel
tanda dipersilahkannya para murid untuk pulang terdengar sangat merdu, walaupun
sebenarnya aku nggak tau tepatnya tema dari melodi bel tersebut. Aku membereskan semua buku yang berserakan di
atas mejaku. Lalu, menghampiri Harun.
“Run, gue boleh minta tolong
nggak?” TanyakuKira-kira Kimi mau minta tolong apa ya sama Harun? Baca cerita selanjutnya ya!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar