Tak butuh waktu lama untuk Harun
menemukan kantor Bang Yogi sesuai dengan petunjuk Bang Ade tadi. Kantor Bang
Yogi bukan bangunan tinggi, cuman bengkel dan tempat cuci steam, serta ruko
kecil yang dijaga oleh seorang perempuan. Bengkel #Maju Sejahtera#. ‘Nama yang
klasik’ Batinku.
“Mbak,
Bang Yoginya ada?” Tanyaku.
“Bang
Yoginya lagi pergi” Jawabnya, ketus.
“Kemana?
Lama nggak ya?” Tanyaku lagi.
“Nggak
tau” Jawabnya, lebih ketus lagi.
“Mbak
bisa hubungi Bang Yoginya supaya cepet ke sini?”
“Nggak.
Emang kamu siapa sih? Ada perlu apa sama Bang Yogi?” Nada suaranya lebih tinggi
dari yang tadi.
“Eh,
saya Kimi. Saya ada perlu sebentar sama Bang Yogi”
“Kimi…………..”
Gumam Mbak galak itu
“Oh,
Kimi! Nama kamu Kimi ya?” Seru perempuan itu, antusias.
“Iy….Iya,
Mbak” Jawabku, agak kaget mendengarnya.
“Bang
Yogi emang pernah pesen sama Mbak, kalau akan ada anak perempuan yang namanya
Kimi akan datang ke sini”
“Oh,
gitu ya,Mbak” Kataku, heran. Kok Bang Yogi yakin banget ya aku bakalan datang.
“Iya.
Kamu sih nggak bilang dari tadi. Ya, udah Mbak telepon Bang Yoginya dulu ya.
Kamu tungguin aja di sono noh”
Aku
duduk di bawah pohon rindang dengan cahaya matahari yang terpecah-pecah oleh
daun menimpa wajahku, angin berhembus lembut meniup rambutku yang acak-acakan.
“Kimi,
lu nggak takut duduk di situ?” Tanya Harun.
“Takut
kenapa? Ada hantunya ya? Lu bisa Lihat hantu?”
“Bukan
gitu. Pohon yang akarnya lu dudukin itu kan pohon Durian, apa lagi buahnya
banyak banget. Kamu nggak takut nanti ada Durian runtuh nyerbu kepala lu? Di
sini anginnya kenceng banget. Bisa-bisa nanti lu yang jadi hantu penunggu pohon
itu”
“Hah?”
Aku panik, melihat sekeliling. Aku melihat ke atas, buah durian yang banyak
sekali itu bak akan jatuh. Aku langsung lari ke arah Harun. Memukulinya dengan
kepalan-tangan-kesal.
Kami
menunggu di bawah pohon mangga yang buahnya sedang sepi. Tak lama Kemudian,
Bang Yogi datang. Penampilannya benar-benar berbeda dengan penampilannya di
dalam mobil angkot butut itu. Dulu dia memakai kaus oblong dengan celana jeans
selutut. Sekarang, dia memakai kemeja lengan pendek dengan garis-garis vertikal
yang beraturan. Di kantung sakunya terdapat bolpoin dan kaca mata hitam yang
dilipat. Dia memakai celana biru dokar
yang sangat gelap. Diantara kemeja dan celananya, ada sabuk kulit hitam merekat
erat.
“Kimi…..
Akhirnya kamu datang juga? Bagaimana? Kamu terima tawaran Abang atau nggak?”
Sapa Bang Yogi dengan gembira.
“Eh,
sebenernya saya masih bingun Bang. Saya nggak ngerti apa yang…”
“Udah…Abang
tau kok. Bisa kita bicara empat mata aja?” Tanya Bnag Yogi, melirik ke arah
Harun.
“Oh,
iya. Gue mau beli es dulu di sana ya” Kata Harun, sambil menunjuk ke arah
warung kecil di pojok pekarangan. Tinggallah aku dan Bang Yogi. Aku tak tahu
maksudnya, sunggguh. Tapi, aku tidak boleh berpikiran negatif.
“Kimi?
Abang cuman mau nanya. Tapi, kamu jawab dengan hati kamu. Apa kamu benar-benar
mau belajar nyetir mobil?” Tanya Bang Yogi dengan serius.
“Iy…Iya….
Tapi, saya juga bingung soal biaya
kursusnya. Saya mau tau dulu Bang” Jawabku.
“Kimi….
Soal biaya kursus, gratis. Kamu hanya perlu datang ke lapangan kosong yang
bekas pasar itu” Katanya.
“Tapi,
di dunia ini nggak ada yang sepenuhnya gratis. Kamu harus membayar, tapi bukan
dengan uang. Melainkan pengorbananmu!” Lanjutnya. Aku kaget mendengarnya. Apa
yang dimaksud dengan pengorbanan yang harus kubayar? Apa dia akan melakukan
sesuatu yang jahat padaku?
“Pengorbanan?”
“Iya,
pengorbanannya pun sangat mudah. Kamu bisa mengemudi mobil dengan baik. Berarti,
kamu harus ikut lomba balapan mobil liar. Adil kan? Kamu mau?”
“Balapan
liar? Tapi, aku kan belum tentu bisa nyetir dengan baik. Kalau aku kalah
gimana?”
“Kimi…Kimi…
Abang ini bukian orang sembarangan. Dulu abang itu juara balapan mobil liar di
berbagai kota besar. Abang bisa melihat kemampuan seseorang dalam menyetir
mobil hanya dengan melihat matanya. Dan kamu, sangat berbakat menjadi seorang
pembalap! Jika bakat kamu diasah dan rajin berlatih. Kamu pasti menang. Apa
lagi ini hanya balapan liar di kota kecil. Tapi, tetap ada pembalap handalnya
juga”
“Saya
nggak yakin bang… Saya nggak tau soal itu…”
“Nggak
apa-apa Kimi. Kamu tak usah jawab sekarang. Kamu bisa pikirkan tawaran itu
baik-baik dulu. Ini kesempatan bagus untuk kamu. Ikuti kata hatimu. Tapi,
mikirnya jangan lama-lama ya…. Maksimal sampai minggu depan sudah ada
jawabannya. Karena kamu akan berlatih keras”
“Eh,
iya Bang”
“Ini
nomor telepon Abang, nanti tinggal hubungi aja”
“Eh,
iya deh”
“Ya,
sudah. Abang tunggu keberanian kamu, Kimi” Aku mengangguk. Bang Yogi bergegas
ke kantornya yang mungil. Harun menghampiriku. Dia bertanya tentang apa yang
tadi aku bicarakan dengan Bang Yogi. Tapi, aku tak menjawabnya. Kurasa Harun
tidak boleh tahu akan hal itu. Aku memaksanya untuk segera pulang.
Di
perjalanan Harun masih bertanya tentang apa yang aku bicarakan tadi. Terpaksa
aku berbohong. Harun sangat bawel dan suaranya berisik. Hampir menyaingi Nunung.
Aku bilang kalau biaya kursusnya mahal, karena aku masih di bawah umur. Untung
dia percaya.
“Ini
rumah gue” Kataku, sesampainya kita di depan pintu gerbang.
“Oh,
ini. Jauh ya?”
“He-eh….
Ayo masuk dulu” Ajakku.
“Nggak
usah, Kim. Udah sore, gue pulang aja. Takut kemaleman. Lain kali aja ya”
“Ya,
udah. Makasih ya, hati-hati di jalan”
Harun
memutar arah motor matiknya. Lalu, melaju kencang ke arah Utara. Pikiranku
masih dipenuhi kata-kata Bang Yogi tentang balapan liar. Aku tahu sedikit
tentang balapan liar. Itupun aku tahu dari film favoritku The Fast and The
Furious. Tapi, aku nggak tahu kalau di kota kecil tempatku tinggal ini ada
ajang balapan liar juga. Jujur, aku penasaran tentang balapan liar. Aku ingin
ikut…. Apa ini yang namanya kata hati? Argh!! Akukan masih sekolah dan sebentar
lagi aku akan menghadapi yang namanya Ujian Nasib, eh Ujian Nasional. Ngapain
mikiran hal yang kaya gitu… Kimberly, ‘Fokus ke sekolah’. Pikiranku kacau lagi.
Apa jawaban Kimi padaa bang Yogi? Tunggu cerita selanjutnya ya!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar