► Filsafat Sejarah
Pengertian Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah adalah ilmu yang mempelajari perkembangan dan penyebaran hukum-hukum atau dasar-dasar kebangkitan dan sebab-sebab runtuhnya suatu bangsa untuk pergerakan masyarakat dan bangsa-bangsa itu sendiri. Dan bisa dikatakan bahwa filsafat sejarah adalah ‘ibarah atau istilah tentang suatu pandangan terhadap kenyataan sejarah dilihat dari segi filsafat.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya
Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.
Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)
Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.
Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Pengertian Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah adalah ilmu yang mempelajari perkembangan dan penyebaran hukum-hukum atau dasar-dasar kebangkitan dan sebab-sebab runtuhnya suatu bangsa untuk pergerakan masyarakat dan bangsa-bangsa itu sendiri. Dan bisa dikatakan bahwa filsafat sejarah adalah ‘ibarah atau istilah tentang suatu pandangan terhadap kenyataan sejarah dilihat dari segi filsafat.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya
Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.
Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)
Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.
Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
► Filsafat Ilmu
Filsafat
Ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji
hakikat
ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu.
Meskipun
secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
sosial, namun
karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini
sering dibagi menjadi
filsafat
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan
pembatasan bidang-bidang
yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang bersifat
otonom.
Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak
terdapat perbedaan
yang
prinsip antara ilmu-ilmu alam dan sosial, dimana keduanya mempunyai ciri-ciri
keilmuan yang sama.
Filsafat
ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan
mengenai
hakikat
ilmu seperti:
· Obyek apa
yang ditelaah ilmu ? (Ontologis)
· Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu? (epistemologis)
·
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan ? (aksiologis)
► Filsafat Seni
Menurut Jakob Sumardjo (2000: 29), Filsafat seni yang merupakan bagian dari
estetika modern, tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil
atau produk), tetapi juga aktifitas manusia atas produk tersebut, baik
keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan
menggunakan produk tersebut.Ada tiga pokok persoalan filsafat seni, yakni seniman atau kreator sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni, dan penikmat seni atau apresiator. Antara seniman dan public seni muncul konteks budaya seni, sedangkan dari unsure benda seni muncul persoalan nilai seni dan pengalaman seni. Secara lebih lengkap akan dijelaskan berikutnya.
Seniman
Setiap karya seni muncul dari seorang seniman, apakah karya seni itu berbobot, kurang berbobot, atau seni kelas bawah pasti muncul dari seorang seniman. Beberapa persoalan yang sering muncul terkait seniman dengan karyanya adalah kreatifitas dan ekspresi. Apakah yang dimaksud kreatifitas? Apa pula yang dimaksud dengan ekspresi? Dan apa bedanya dengan refresentasi? Bagaimana masalah gender dalam berkesenian? Apa bedanya seniman dengan pengrajin, tukang, dan desainer? Bagaimana pribadi seniman tampak dalam karyanya yang menimbulkan beragam gaya, dan aliran dalam seni?
Seniman menekankan pada aspek ekspresi, kreasi, orisinalitas, intuisi, imajinasi, ide, konsep, keterampilan dan referensi.
Karya Seni/Benda Seni
Karya seni adalah hasil proses kreasi seniman berwujud visual dua dimensi maupun tiga dimensi (Seni rupa, patung, lukis, desain, arsitektur), wujud audio (music dan sastra), audio visual (Film, teater, seni tari) yang dapat dinikmati atau diapresiasi melalui berbagai indra yang dimiliki oleh manusia. Benda seni atau karya seni terkait erat dengan medium atau bahan yang digunakan dalam menciptakan karya seni tersebut. Beberapa pertanyaan yang biasa muncul terkait karya atau benda seni adalah apakah akrya seni merupakan peniruan kenyataan (istilah Plato mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Persoalan subjektifitas dalam seni (ekspresi) dan objektifitas (mimesis) berlangsung di lingkungan penciptaan (seniman). Persoalan lainnya adalah seni tinggi dan seni rendah, seni eksklusif dan seni pinggiran, istilah Sanento Yuliman “seni rupa bawah dan seni rupa atas”
Karya seni atau benda seni menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur, symbol, dan estetika.
Publik Seni/Apresioator
Publik seni adalah masyarakat luas yang berasal dari latar belakang social dan ekonomi berbeda. Publik seni penting sebab seni bukan hanya masalah seniman dan karya seninya, melainkan bagaimana karya seni dapat berkomunikasi atau berdialog dengan orang lain. Agar karya seni dapat berdialog secara baik dengan masyarakatnya, maka diperlukan seorang curator atau kritikus yang menjelaskan secara lebih obyektif tentang struktur estetika dan makna sebuah karya seni.
Seorang seniman disebut seniman oleh masyarakatnya sebab status yang diperjuangkannya. Walaupun tidak seluruh masyarakat dapat diklaim sebagai public seni, namun sebagian besar masyarakat yang pernah dan berkeinginan menikmati karya seni dapat menjadi bagian dari public seni. Publik seni tertentu seperti kolektor dan para konsumen seni sangat berperan dalam menentukan status dan kelas dari seorang seniman.
Publik seni menekankan pada aspek apresiasi, interpretasi, evaluasi, konteks, pengalaman, pengetahuan, penghargaan, dan respon dari public.
► Filsafat Moral
Sedangkan etika yang dikaitkan dengan nilai moral ataupun kumpulan asas bisa dilihat dari kode etik peneliti, kode etik kedokteran dan lain lain. Hal itu akan menjadi berbeda apabila dikaitkan dengan ilmu mengenai hal baik dan buruk. Etika bisa dikaitkan sebagai ilmu apabila beberapa kemungkinan etis dijadikan sebagai bahan refleksi untuk sebuah penelitian yang metodis dan sistematis. Dalam kaitan inilah yang menjadikan etika disebut juga dengan sebutan filsafat moral.
Mempelajari filsafat moral mengundang kita mengurai tanda tanya terhadap persoalan amoral. Pada dasarnya amoral tidaklah berkaitan sama sekali dengan etis maupun moral. Terkadang kita salah memahami suatu persepsi, sehingga menggunakan istlah amoral untuk menunjukka arti tidak bermoral. Sebuah kalimat yang tepat adalah immoral yang bermakna tidak etis atau tidak bermoral. Disinilah perbaikan makna yang sebenarnya dibutuhkan agar tidak menyimpang dari apa yang diharapkan.
Moralitas sangat berkaitan dengan filsafat moral. Ini adalah fenomena yang berlaku bagi umat manusa diseluruh dunia dan menjadikan manusia sangat berbeda dengan binatang. Jika binatang sama sekali tak bisa membedakan hal baik dan buruk dan sesuatu yang pantas dilakukan atau tidak, maka manusia dilahirkan dengan tanggung jawab untuk bersikap sesuai dengan moral.
► Filsafat Pendidikan
Muhammad Labib al-Najihi: Filsafat pendidikan adalah suatu aktivitas yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Kilpatrik dalam Buku Philosophy of Education menyebutkan: "Philisophizing and education are, then, but two stages of the same endeavo; Philisophizing to think out better values and idealism, education to realize these in life, in human personality. Education acting out of the best direction philosophizing in can give, tries and beginning primarly wit h the young, t o lead people to build critrised values to their characters, and in this way to get the highest ideals of philosophy progressively embodied in their lives." Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha. Berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik ialah usaha merealisasi nilai-nilai dan cita-cita itu didalam kehidupan dan dalam kepribadian manusia. Mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang disumbangkan filsafat, dimulai dengan generasi muda, untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan melembagakannya dalam kehidupan mereka.
John Dewey memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emotional) menuju kearah tabi’at manusia, maka filsafat juga dapat diartikan sebagai teori umum pendidikan (Democracy and Education, p. 383)
Prof. Brameld berkata tentang filsafat pendidikan : “That is, we should bring philosophy to bear upon the problems of education as effiently,” Kita harus membawa filsafat guna mengatasi persoalan-persoalan pendidikan secara efisien, jelas, dan sistematis sedapat mungkin.
Van Cleve Morris menyatakan : “Secara ringkas kita mengatakan bahwa pendidikan adalah studi filosofis, karena ia pada dasarnya, bukan alat sosial semata untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, akan tetapi ia juga menjadi agen (lembaga) yang melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangan mencapai hari depan lebih baik (Van Cleve Morris, Becamingan Education, p.57 dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, Prof HM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar