Selasa, 06 September 2011

Love Ride (Fast Not Furious) part 1

                Berulang kali aku melirik arloji hadiah ulang tahunku yang ke-13, empat tahun yang lalu. Sesekali aku melirik sopir angkot, bukan berarti aku naksir. Tapi, mobil angkot butut yang dikendarainya melaju zigzag diatas aspal mulus yang sepi. Walaupun melaju pelan aku sangat khawatir karena si sopir sering geleng-geleng kepala, padahal tidak ada suara musik dangdut. Di belakang ada sepasang Suami-Isrti yang sedang meributkan nama untuk bayi mereka yang masih berada di dalam kadungan sang Istri, nggak mungkin sang Suami, kan?
                “Bang! Kenapa sih jalannya belok-belok nggak jelas gini?” Tanyaku, kesal.
                “Santai aja neng, jalannya sepi kok” Jawab si sopir sambil merem-melek, aku ngeri melihatnya.
                Aku cemberut, menyerah saja lah, aku sudah cape dari tadi pagi sampai siang aku marah-marah terus di kelasku yang baru. Terkadang aku tak percaya kalau aku sudah kelas 3 SMA….. Aku masih merasa baru kaluar dari TK. Aku lahir, tinggal, tumbuh besar, dan bersekolah di kota kecil yang sepi. Jalan raya ramai hanya pada jam-jam dan tempat tertentu saja. Tapi, aku sangat suka kota kelahiranku ini, tenang, damai, dan jarang ada copet. Paling ada jambret dan tukang ngutil, lho?
                Kecepatan laju mobil angkot semakin lambat. Ada bau yang tidak menyenangkan namun tidak asing tercium oleh hidungku yang baru sembuh dari flu. Karena pikiranku sedang kacau aku tak ingat aroma apakah itu. Angkot menepi, lalu berhenti.
                “Kok berhenti sih bang? Ada apa?” Tanyaku, heran. Suami-istri yang tadinya berisik, sekarang diam. Sopir angkot memegangi perutnya yang besar, keringat bercucuran dari kepalanya. Aku heran dan bertanya-tanya, ‘Apakah abang sopir mau melahirkan?’. Kalau aku bandingkan dengan wanita hamil yang ada di belakang, perut abang sopir tidak kalah besar.
                “Aduuuuhh,  maaf ya, saya lagi diare dan sudah nggak tahan lagi mau BAB” Kata bang sopir dengan suara bergetar yang nyaris tidak kedengaran. Sopir angkot itu membuka pintu reot yang ada di sisi kanannya sambil memegangi pantatnya….. ‘Prot….’ Bau yang tidak menyenangkan, tetapi lekat di hidung menebar ke seluruh ruangan mobil. Aku menutup hidungku dengan tangan, suami-istri yang ada di belakang menutup hidung mereka juga. Tapi, sang istri tidak hanya menutup hidungnya tapi juga perut buncitnya. Apakah bau kentut sopir angkot tercium sampai ke dalam perut. Perutku juga jadi sakit memikirkannya.
                “Abang sopirnya kemana sih neng?” Tanya sang suami yang masih muda itu.
                “Umm, saya juga nggak ngerti, om. Tapi, kayaknya si sopir sakit perut terus BAB deh” Jawabku.
                “Ada-ada aja”
                “Ya, udah mas, kita tunggu aja. Kasiahan udah nggak tahan kali, baunya aja sampai bikin kecoa mati” Kata sang istri.
                “Yang bener, mah?” Tanya sang suami dengan ekspresi yang aneh.
                “Iya, tuh liat aja” Sang istri menunjukkan kecoa malang yang tergeletak tak bernyawa.
                Kami lama menunggu. Aku sudah sangat kesal. Suami-istri itu masih asyik meributkan nama yang tepat untuk si jabang bayi.
                “Pokoknya namanya harus yang bersifat Islami, mas. Misalnya Siti atau Ahmad” Kata sang istri.
                “Udah nggak jaman mah… Nama yang kayak gitu. Mas maunya yang kebarat-baratan gitu…. Kayak Keiko atau Robert” Sanggah sang suami.
                “Keiko kan nama dari Jepang bukan barat” Bantah sang istri.
                “Ya, nggak apa-apa yang penting dari luar negri. Siapa tahu nanti kalau anak kita perempuan cantiknya kayak Suzuka di film Doraemon”
                “Ih, kok mas ngedoain anak kita jadi doraemon sih mas?”
                Argh, aku pegang dengkul mendengar percakapan mereka yang agak tulalit. Kepalaku dipenuhi berbagai macam pikiran (Nggak apa-apa kan dari pada kosong nanti keseurupan). Kepalaku sakit mengingat wajahnya yang terlihat aneh saat aku tabrak tadi. Rama menatapku dengan tatapan kosong, aku tak tahu maksudnya. Tapi, aku merasa wajahku merah membara seketika.
                “Aduuuhhhh….huuu…” Teriak sang istri. Aku kaget dam menoleh ke belakang.
                “Kenapa mah…. Apa karena bau kentut sopir angkot mamah jadi keracunan?” Tanya sang suami, khawatir.
                “Bukann…. Addduuuhhh….” Sang istri meringis lagi.
                “Ya udah, mas minta maaf nanti nama bayi kita Siti atau Ahmad deh… Mas janji”
                “Bukan itu….. Aduh sakit bangettt… Perut aku konstraksi lagi…..” Jawab sang istri. Matanya merem-melek berusaha menyelesaikan kalimatnya. Darah mengalir dari dalam rok dasternya. Darah yang masih segar itu mengalir melalui betis lalu sampai ke lantai mobil angkot reot ini. Aku nenyeka mulutku dengan tanagnku lagi. Perutku semakin sakit dan merasa mual.
                “Aduuuhhhhh….Maaaassssssss” Teriak sang istri.
                “Neng, abang sopir kemana sih lama banget? Istri saya kayaknya mau melahirkan nih” Kata sang suami kepadaku. Aku bingung, cemas, takut akan ada lebih banyak darah lagi.
                “Ya sudah, saya cari sopir angkot dulu ya om” Kataku. Dengan segera aku kaluar dari mobil. Aku berada di pinggiran desa yang sepi. Di sekeliling jalan hanya kebun-kebun lebat yang terpagar rapi…. Aku tak tahu harus mencari si sopir kemana….. Aku melihat pangkalan ojek.
                “Bang ojek… Tau nggak ada abang-abang gendut yang lagi kebelet BAB?” Aku bertanya dengan kata-kata yang membingungkan. Karena aku sendiri juga bingung.
                “Neng, mau kemana? Pulang? Ayo abang anter” Kata tukang ojek yang udah tua. Dia budek kali ya?
                “Bukan itu, saya lagi nyari sopir angkot yang pergi BAB”
                “Oh, tadi ada yang nanyain tempat BAB gratis sama saya” Kata tukang ojek yang lain.
                “Terus sekarang dimana bang?”
                “Wah, jauh neng. Di ujung sono noh. Kan ada sawah. Dia BAB di situ” Menunjuk ke arah jalan setapak yang sempit dan gelap karena banyak pohon. Aduh tuh sopir nyusahin aja, batinku.
                “Emangnya kenapa sing neng?” Tanya tukang ojek. Aku diam. Aku berlari lagi menuju mobil. Pikiranku sudah tak karuan. Perutku sakit menjadi-jadi. Sang Istri masih berteriak-teriak. Darah menaglir lagi dari betisnya. Meskipun tidak banyak, tapi, aku merasa mual.
                “Om, Abang sopirnya ke sawah. Kata orang sih jauh” Kataku, nafasku tersengal.
                “Aduh si sopir ngapain sih ke sawah. Dia itu petani atau sopir angkot sih?” Teriak sang suami.
                “Bukan gitu, Om.Maksud saya, Abang sopir BAB di sawah”
                “Oh, giman nih, Kasihah istri saya. Ada kendaraan lain nggak?”
                “Kayaknya siang bolong gini jarang ada yang lewat sini deh bang. Ada juga ojek di sana”
                “Nggak mungkin naek ojek. Dari tadi nggak ada mobil yang lewat”

Bagaimana cerita selanjutnya? Apa yang akan Kimi lakukan untuk mnyelamatkan ibu hamil tersebut? Ikuti ceritanya ya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar