Halo ini cerita yang aku post pertama, enjoy :) bisa juga di baca di note facebook-ku http://www.facebook.com/?ref=home#!/ayyaayyawae?sk=notes
Gue suka banget sama
Teletubbies, dari gue kecil sampe gue udah lulus SMA, sekarang ini. Bukannya
gue masih kekanak-kanankan. Tapi, teletubbies udah melekat banget dalam jiwa
gue. Kalo membahas tentang teletubbies, mungkin lo semua bakalan ngebayangin 4 boneka
warna-warni yang hobinya berpelukan, iya kan? Tapi, Teletubbies versi gue ini beda
banget.
Kenapa beda? Karena
Teletubbies versi gue ini bukanlah si Tinky Winky, Dipsi, Lala sama si Po.
Melainkan gue (Panji), dan ketiga sahabat gue, Doni, Tirto, sama Lekong, eh, Lukman. Kalau Teletubbies yang di TV itu kan mukanya imut-imut, lucu, dan
ngegemesin. Kalo keadaan kami sebaliknya, gak usah dibahas deh pasti lu semua
pada tahu seperti apa keadaan kami. Kami berempat sudah bersahabat sejak SD,
waktu itu kami masih lucu-lucu, imut-imut walaupun agak dekil dikit. Sejak saat
itu juga kami tak pernah terpisahkan, selalu berempat. Berangkat dan pulang
sekolah bareng, main bareng, ngerjain PR bareng (baca:nyontek). Bahkan kami
pernah membentuk tim futsal, yang bubar dikarenakan tim kami kekeurangan satu
pemain.
Karena salalu berempat inilah,
akhirnya kami dijuluki Teletubbies. Disadari atau tidak, huruf pertama nama
Kami sama dengan huruf pertama nama anggota Teletubbies asli. Gue, Panji, huruf
pertamanya kan P sama dengan si Po. Si Doni sama dengan si Dipsi. Si Tirto sama
dengan Tinky Winky. Si Lukman sama dengan si Lala. Meskipun demikian, gue sama
temen-temen gue keberatan kalo dipanggil pake nama Tinky Winky, Dipsi, Lala dan
Po (karena kita ngefansnya sama SpongeBob), waktu SD sih nggak keberatan. Tapi,
sejak kami masuk SMP mulai sadar deh kalo Teletubbies yang imut-imut dan lucu-lucu
itu sangat bertolak belakang dengan keadaan kami yang…. Halah udah deh gak usah
diomongin.
Nama
lengkap gue Panji Hidayat Bin Marzuki Bin Suzuki. Gue anak tunggal dari keluarga
pas-pasan. Sehari-hari bapak gue jualan koran, majalah, TTS dan buku primbon di
pasar, sedangkan emak gue hanya ibu rumah tangga biasa. Bapak gue pengen banget
gue jadi orang sukses. Maklum aja, gue kan anak tunggal, soalnya emak gue nggak
mau lagi punya anak. Katanya sih dia takut sama yang namanya ‘melahirkan’.
Mungkin waktu ngelahirin gue, gue agak malu-malu keluarnya. Atau, emak gue
takut anak keduanya bakalan jelek kayak anak pertamanya? Ah, nggak mungkin! Gue
kan mirip-mirip dikit sama Ardie Bakrie.
Lain
halnya dengan si Doni. Pria dengan kolor berukuran XXXXXL ini mempunyai nama
lengkap Doni Asmarani Wijayanto (Kalo aja Wijayanti, bukan Doni lagi, tapi
Desi). Doni ini anak sulung dari tujuh bersaudara, ke enam adeknya itu
dilahirkan dalam dua periode. Maksudnya, emaknya si Doni punya dua anak kembar
tiga. Pusing? Sama gue juga. Dari prestasi Bapak plus Emaknya si Doni ini,
keluarga Doni menjadi populer, bahkan si Emak plus keenam anaknya itu masuk
rekor muri. Wah, gue bangga punya temen berprestasi kayak Doni. Kerjaan emak
sama bapaknya Doni adalah tukang jamu. Padahal mereka bukan orang Jawa,
melainkan Kalimantan. Makanya, nggak heran kalo si Doni plus keenam adeknya
subur-subur dikarenakan mereka minum jamu setiap hari. Pertumbuhan mereka
sangat pesat. Laju pertumbuhan ekonomi Amerika aja kalah kalo diaduin sama Doni
plus adek-adeknya. Kalo orang Amerika kan setiap hari minum susu, sedangkan si
Doni and the Brothers sehari-hari minum jamu yang dicampur telor bebek mentah.
Pokoknya gue bangga deh.
Si
Tirto beda lagi. Pria yang hobinya nyemir sepatu ini mempunyai nama lengkap
Tirto Hari Kiswanto. Tirto merupakan adek dari kakak perempuannya. Bapaknya
merupakan pegawai serabutan, kerjaannya gak tetap, kadang jadi buruh tani,
kadang jadi tukang ojek, tukang cukur, gali kuburan, dll. Pokoknya bapaknya si
Tirto ini multitalented deh, makanaya si Tirto bangga banget punya bapak bak
superman, apa aja bisa! Ibunya Tirto adalah seorang pahlawan juga, bukan
Wonderwoman atau Srikandi, melainkan pahlawan devisa alias TKI. Ibunya Tirto
udah lama jadi TKI, sejak si Tirto masih kecil. Pulangnya juga gak menentu,
kadang dua tahun baru pulang, empat tahun, lima tahun. Gue salut sama si Tirto,
karena dia bangga dengan kedua orang tuanya yang seperti super hero di matanya.
Tirto juga bercita-cita menjadi seorang pahlawan, dia ingin menjadi anggota
TNI. Sekali lagi, sebagai sahabatnya, gue sangat bangga kepada Tirto.
Satu
lagi anggota Telettubies, yaitu Lukman. Pria bernama lengkap Lukmanul Hakim ini lahir
dalam sebuah keluarga sederhana. Lukman merupakan anak bungsu dari keempat
bersaudara. Tiga saudaranya perempuan semua, mereka sudah menikah dan tinggal
bersama suaminya. Tinggallah Lukman dan bapaknya yang menghuni rumah kecil di
pinggir jalan. Ibunya Lukman meninggal ketika melahirkan si Lukman. Jadi nggak
heran kalau Lukman ini jago masak dan telaten dalam bersih-bersih, karena dia
sering membantu saudara-saudara perempuannya. Setelah kepergian kakak-kakak
perempuannya Lukman bertanggung jawab menjaga ayahnya yang merupakan seorang juragan becak. Lukman sangat rajin dan selalu semangat melakukan apapun,
terutama kejahatan. Itulah yang gue banggakan dari sahabat gue yang satu ini.
Gue sama Tinky Winky, Dipsi
dan Lala, eh, maksud gue Tirto, Doni dan Lukman melewati masa kecil yang lumayan
bahagia bersama-sama, sampai kami remaja dan beranjak dewasa. SD bareng, SMP
bareng, SMA juga bareng. Sampe kami dikira jelmaan Fantastic Four, dan yang
paling sering kami berempat dikira maho. Padahal kami normal, buktinya kami gak
minum yang rasa-rasa melainkan minum air putih yang sehat untuk kesehatan otak
dan jantung kami. Laki banget, kan?
Berbagai kejadian dan musibah
kami lalui bersama dalam suka dan duka, sudah tidak ada rahasia diantara kami
berempat. Banyak kajadian yang kami lalui bersama, entah itu kejadian
mengahrukan, menyedihkan, menyenangkan, memalukan dan menjijikan.
Misalnya waktu kami masih SD
dulu, kami ikut acara kemah bersama dengan anggota pramuka dari sekolah kami
dan sekolah-sekolah yang lainnya. Saat itu sedang dilaksanakan pencarian jejak.
Ketika kami sedang menjalankan tugas di salah satu pos, gue liat si Doni
bisik-bisik gitu ke si Tirto. Mukanya si Doni aneh bnaget, matanya tenggelam
oleh tumpukan lemak dan daging yang menempel di kedua pipinya, ditambah dia
joget-joget gak jelas sambil megangin perutnya yang big size. Pokoknya
pemandangan yang aneh deh. Karena penasaran, gue samperin aja mereka.
“Woy! Lu berdua lagi apa sih?
Bisik-bisik kagak bagi-bagi” Kata ague.
“Eh, P-Pan, Panji” Kata Doni,
memasang muka yang nggak enak dilihat.
“Ini si Dooo…..” Tiba-tiba Doni
mendaratkan jari telunjuknya didepan bibir Tirto yang monyong, dan berusaha
membuat mata sipitnya melotot lebar. Diperlakukan demikian Tirto hanya
mengerutkan dahinya dan diam. Gue sendiri merinding disko ngeliat mereka
berdua.
“Lu kenapa sih, Don? Tirto
dikasih tau, lha gue kagak” Protes gue.
“Gue juga! Ada apa sih ini?”
Si Lukman ikut protes.
“Ceritain jangan, Don?” Tanya
Tirto.
“Jangaan! Gue malu, To. Lu
tega banget sama gue” Jawab Doni, mukanya dikerutkan dan masih nggak enak
dipandang.
“Halaah! Lu malu apa sih, Don?
Gue tau siapa elu, lu suka meperin upil di bawah laci meja, lu tidur harus sama
boneka Barbie, gue juga udah tau kalo pantat lu bentuknya lope! Apa sih
kejelekan lu yang nggak gue ketahui” Kata gue. Si Lukman manggut-manggut tanda
setuju.
“Tapi, lu jangan ketawa ya!”
Kata Doni. Gue ikutan manggut-manggut sama Lukman.
“Janji loooh” Tambah Doni.
“Kelamaan lu, Don! Ada apa
sih?” Tanya Lukman, sewot.
“Gu, gue… Gue, gue eek di
celana” Bisik Doni.
“Apa!!” Seru gue sama Lukman.
“Ssssttt! Lu berdua jangan
berisik dong, kalo ketahuan sama yang lain gimana, kan malu” Omel Doni.
“Eh, sorry sorry. Lu kok bisa
cipirit gitu sih?” Tanya Lukman. Gue masih cengengesan nahan ketawa.
“Gue juga gak nyangka bisa
kecelakaan gini, abis gue gak tahan banget nih”
“Gila lu, Don! Perjalanan kita
masih jauh, tau! Masih banyak pos yang belum kita lewati. Lu mau nahan tuh eek
sampe kita selesai mencari jejak?” Kata gue.
“Iya, gue juga tau. Makanya
gue ngasih tau Tirto, supaya gue gak dikasih tugas macem-macem. Kalian jangan
kasih tau siapa-siapa ya”
“Udah, udah! Jangan dibahas
lagi. Kita kan udah tau masalahnya. Lu tenang aja, Don. Dan lu berdua, bantu si
Doni menutupi aibnya ini” Perintah Tirto, dengan bijak. Nggak heran deh, dia
jadi ketua regu.
Sisa perjalanan mencari jejak ,
dilewati Doni dengan was-was. Takut aibnya ketahuan sama teman-teman yang
lainnya. Apa lagi kalo sampai ketahuan kakak Pembina yang rata-rata anggota
pramuka SMA, bisa-bisa si Doni jadi daging panggang.
Celaka
12 si Doni!!! Ternyata, kami harus menyebrangi sungai untuk menuju pos
selanjutnya. Gue, Lukman, dan Tirto langsung kaget dan cemas. Sedangkan si Doni
mukanya udah pucat mirip hantu buta ijo yang kekurangan darah. Untung aja, si
Tirto ketua regu. Jadi, dia bisa bohong ke kakak Pembina kalo si Doni pobia air,
supaya si Doni gak nyebrang sungai. Kakak Pembina cewek langsung jaga jarak
dari Doni ketika di tau si Doni pobia air. Dia kira si Doni jarang mandi kali
yak. Atau, bau eek yang bersarang di celananya si Doni udah kecium, hueks!
Setelah
melewati beberapa pos dan menyelesaikan tugas dengan asal-asalan, akhirnya
petualangan mencari jejak pun telah selesai. Kami pun kembali ke tenda untuk
beristirahat dan mempersiapkan diri untuk mengikuti kegiatan api unggun nanti
malam. Sayangnya, gue, Tirto, Lukman dan si Doni nggak bisa istirahat dengan
tenang. Mungkin, amal ibadah kita kurang banyak. Eh, dikira udah koid!!!
“To,
mau digimanain nih celana gue?” Tanya Doni.
“Ya
lo cuci lah!” Jawab Tirto, otomatis.
“Sekalian
tuh, otak lu dicuci juga. Udah tau tuh celana ada eeknya, masih nanya mau
diapain” Kata gue, sewot.
“Iiih,
nggak mau aah. Jijik, lu aje ya Ji. Nanti gue kasih duit deh, mau gak?” Tanya Doni.
“Apa!
Gila lu. Lu yang punya tuh celana aja jijik apa lagi gue! Hueks!”
“Ayo
dong, Ji? Plis! Atau elo To? Gimana mau nggak? Mua berapa nolnya? Tunai atau
transfer? Dollar, Rupiah, Euro atau Yen?”
“Yeeeh,
ogah! Duit Dollar dari mana lo! Duit kali monopoli maksud lo? Udah untung lu
gue tolong tadi” Kata Tirto, menolak mentah-mentah tawaran Doni yang ngaco itu.
“Udah
deh jangan pusing-pusing. Nih, pake celana ini aja! Pasti muat buat lo, Don”
Kata Lukman, sambil ngasih celana panjang coklat ukuran XXXXXXLMS ke si Doni.
“Celana
siapa tuh, Man?” Tanya gue, heran si Lukman punya celana yang mirip sarung bedug.
“Nggak
tau, gue nemu noh di dahan pohon itu” Jawab Lukman sambil nunjuk ke pohon kapas
di pinggir sawah.
“Jangan-jangan
punya hantu!” Seru Tirto.
“Gemblong!
Masih percaya aja lu sama hantu! Udah pake aja, Don. Dari pada lu pake celana
ada tagarnya” Kata Lukman.
“Tagar
apaan, Man?” Tanya gue.
“Tai
garing” Jawab Lukman, otomatis. Hueks! Gue sama Tirto muntah. Lukman sama Doni cengengesan. Dasar gemblong!
“Tapi,
celananya panjang, Man” Kata Doni.
“Tinggal
potong aja, Man! Lu giamana sih Man, punya otak kagak dipake-pake” Kata Lukman, sewot.
“Gue
kagak punya gunting, Man”
“Gue
pinjem ke PMR aja ya. Tunggu bentar” Kata Tirto, kemudian keluar tenda meluncur
ke pos PMR. Tak lama kemudian Tirto kembali dengan membawa gunting, celana yang
ditemukan Lukman pun langsung dipotong menjadi pendek.
“Ya
udah cepet pake!” Perintah gue.
“Tapi
gue belom cebok” Kata Doni, sambil ngegigit jarinya.
“Gembloooong!!!
Cebok sana!!!” Teriak gue, Tirto dan Lukman secara bersamaan. Gila si Doni! Bikin darah tinggi aja.
Tak
lama kemudian Si Doni kembali ke tenda dengan memakai celana baru yang ajaibnya
pas banget dipake sama dia. Doni juga gak lupa mebawa celananya yang berisi
eek.
“Udah
cebok lu?” Tanya Lukman, curiga.
“Udah
dong” Jawab Doni, bangga.
“Bikin
repot aja lu, Don” Kata Tirto.
“Eh,
celana gue yang ada eeknya gimana nih?”
“Bikin
ribet aja lu, Don!” Seru Lukman.
“Aha!
Gue punya eek! Eh, maksud gue, gue punya ide!” Teriak gue.
“Apaan
ide lu?” Tanya Tirto.
“Udah
lu tenang aja, sekarang lu sama Lukman nyari kayu bakar buat api unggun nanti
malem aja sana. Don, nanti lu bantu gue ngelenyapin celana lu ya. Gue jijik
megangnya” Perintah gue.
Tirto
dan Lukman pun bergegas mencari kayu bakar di area sekitar perkemahan. Tak lama kemudian mereka berdua kembali dengan kayu bakar yang lumayan banyak. Gue
nyengir ngeliatnya. Langsung deh gue suruh si Doni ngelilitin celananya dan
potongan celana barunya ke sebuah kayu bakar yang berukuran besar. Setelah itu,
tinggal nunggu perintah kakak Pembina untuk mengumpulkan kayu bakar ke tengah
lapangan deh.
“Nih,
lu yang bawa kayu bakarnya ke lepangan nanti ya” Perintah gue.
“Kok
gue sih?” Protes Doni.
“Lu
mau orang tau iab lu ini!” Kata gue, dengan jurus ancaman maut andalan gue.
“Nggak,
nggak mau. Iya deh, nanti gue yang bawa kayunya”
“Lagian,
itu kan buat menghilangkan jejak perbuatan bejat lu sendiri, Don” Kata Lukman.
“Iya,
iya. Gue tau”
Malam
harinya, langit begitu kotor dengan bintang yang bertaburan disana-sini. Mirip
ketombe di kepalanya si Lukman. Puluhan kayu bakar bertumpuk di tengah lapangan
perkemahan. Para anggota pramuka pun berbaris sesuai dengan regunya
masing-masing. Setelah mendengarkan beberapa sambutan dan instruksi dari
kakak-kakak Pembina, akhirnya kayu-kayu tersebut dibakar, termasuk kayu yang
dilapisi dengan celana berisi eek si Doni. Nyanyian api unggun pun bergema
syahdu di keheningan malam, gue yang gak hafal lagunya, asik aja
manggut-manggut sendiri. Ternyata bukan cuman gue yang gak hafal lagunya, Lukman dan si Doni pun sama-sama gemblong! Berbeda dengan si Tirto yang dengan khidmat
menyanyikan lagu api unggun. Maklum, dia kan ketua regu. Udara malam terasa
sangat dingin membuat gue merinding. Api unggun pun kian membesar, mungkin
karena telah terbakarnya eek si Doni. Gue pernah denger ada kompor yang
berbahan bakar tinja manusia. Kenapa si Doni kagak bawa pulang aja celananya
buat bahan bakar kompor. Kan lumayan tuh bisa ngerebus indomie. Itu cerita si Doni,
apa ceritamu?
Setelah
dua hari dua malem, akhirnya tiba juga saatnya pulang. Badan gue pegel-pegel
banget, capek ngurusin si Doni. Tenda-tenda yang sudah susah payah didirikan
pun dirobohkan, beberapa anak sibuk membereskan barang-barang mereka, termasuk
gue. Si Lukman sama si Doni lagi asik nongkrong berdua sambil makan gemblong. Si
Tirto lagi menerima instruksi dari kakak-kakak pembina bersama ketua regu yang
lainnya, anehnya salah satu dari kakak-kakak Pembina tersebuta ada yang pake
sarung. Setelah selesai menerima instruksi dari kakak pembina, si Tirto
menghampiri gue sambil ketawa ngakak nggak karuan. Lukman dan Doni pun
menghampiri gue sambil mandang Tirto dengan pandangan ‘Otak tuh bocah jatoh
dimana ya?’.
“Kenapa
lu To?” Tanya gue.
“Hahahahahaha!
Gemblong lu semua!” Teriak Tirto, lalu tertawa lagi.
“Semprul!!
Lu kenapa?” Tanya Lukman, sewot.
“Lu
tau gak, celana yang dipake si Doni itu ternyata celana kakak Pembina yang pake
sarung itu, noh!” Kata Tirto sambil nunjuk kea rah kakak Pembina yang pake
sarung warna ungu.
“Yang
bo’ong lu!” Seru gue.
“Beneran,
dia kira ada yang ngebakar celananya di api unggun, soalnya ada
potongan-potongan kain warna coklat di sisa pembakaran api unggun semalem ”
“Tapi,
yang dibakar kan celana gue. Celananya dia, ya ini yang lagi gue pake” Kata Doni.
“Iya,
tapi dia kira celana yang dibakar itu celananya dia. Makanya, tadi semua ketua
regu disuruh kumpul buat nyari tau siapa yang udah ngebakar celananya” Tambah
Tirto. Gue sama Lukman ngakak nggak karuan.
“To,
lu nggak akan ngasi tau kalo gue yang nyuri celananya kan? Gue tau lu selalu
serius menjalankan tugas, tapi jangan kasih tau ya To. Kasiani gue To” Tanya Doni,
cemas.
“Ya,
kagak lah Don. Masa gue tega sama temen sendiri. Lagian kan, kakak pembiana
nyuruh gue buat nyari tau siapa yang udah ngebakar celananya. Lha! Lu kan
ngebakar celana lu sendiri, bukan celana kakak Pembina itu” Jawab Tirto sambil
ngakak. Doni tersenyum lega. Gue sama Lukman tambah kenceng ngakaknya.
“Makasih
To. Lu juga Ji, Man. Lu semua sahabat gue yang terbaik. Makasih ya udah nolongin gue” Kata Doni.
“Iya,
sama-sama gembloooong!” Teriak gue, Lukman sama Tirto kompak. Kemudian, kami
berempat kembali berkemas dan siap-siap pulang.
Sebelum
pulang, kami mengikuti upacara terakhir. Gue, Lukman sama Doni sibuk ngomongin kakak pembina bersarung yang berbaris diantara barisan kakak-kakak Pembina yang
lainnya. Meskipun agak nyelip-nelip gitu, tetep aja keliatan, sarung warna
ungunya ngejreng banget diantara pakaian-pakaian berwarna coklat. Sayangnya si
Tirto sebagai ketua regu harus berbaris sempurna, jadi nggak ikut ngegosip deh.
Setelah
upacara penutup selesai, kami pun bergegas meninggalkan lapangan. Ketika kami
sedang berjalan ditengah lapangan, kakak penbina bersarung menghentikan langkah
kami.
“Bagaimana
Tirto, kamu tahu siapa pelakunya?” Tanya kakak Pembina bersarung itu.
“Siap!
Saya tidak tahu, kak. Pelakunya bukan dari anggota regu saya, Kak” Jawab Tirto.
“Begitu
ya, ya sudah lah. Mungkin nasib saya yang jelek. Lagi pula udah pada bubar,
nggak mungkin pelakunya bisa ketemu” Kata kakak Pembina bersarung dengan nada
sedih. Kasian juga, tapi di dalam hati, gue ngakak abis-abisan.
“Siap!
Yang sabar ya Kak” Kata Tirto.
“Iya,
ya sudah kalian pulang sana” Perintahnya. Kakak Pembina bersarung itu menatap Doni
dengan serius, Doni yang merupakan sosok anak Indonesia yang murah senyum, melemparkan
senyum yang manis-manis pait (soalnya si Doni memakai sodium, bukan gula asli)
pada kakak Pembina bersarung itu. Kebayang gak kalo si Doni ngelempar bata.
Apes banget deh kakak Pembina bersarung itu. Gue sama Lukman cengengesan melihat
fenomena tersebut.
Pengalaman
yang aneh nan menjijikan di bumi perkemahan. Dan itu adalah pengalaman sebagai
anggota pramuka terakhir kali bagi kami semua. Pada saat SMP dan SMA, Tirto
memutuskan ikut ke eskul paskibra, Doni sama gue ikut eskul futsal, sedangkan
si Lukman ikut eskul PMR. Sampai saat ini gue belum lupa sama kejadian itu,
begitu pula dengan si Tirto dan si Lukman. Kalau si Doni udah pasti inget
banget. Kayaknya kejadian itu nggak akan bisa dia lupain sampe sakaratul maut
nanti.
Tunggu lanjutan ceritanya ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar