Senin, 12 September 2011

Love Ride (Fast Not Furious) Part 2


                 Kepalaku berputar, mengingat kejadian dua tahun yang lalu. Saat aku belajar menyetir mobil dengan mobil baru kakekku. Aku naik ke dalam mobil. Kuci yang masih tertanam di dalam lubang aku putar ke arah ‘ON’.
                “Neng bisa nyetir mobil? Ayo cepat antar istri saya ke rumah sakit” Kata sang suami. Matanya berkilau penuh harapan, sedangkan sang istri mengaduh lagi, meringis dan menjerit. Oh, aku merasa iba….
 Aku menurunkan rem tanagan. Lalu menginjak kopling habis, memindahkan gigi ke gigi satu. Dengan ragu-ragu aku menginjak gas perlahan-alahan. Aneh bin ajaib mobil angkot butut yang masih ada bau kentut si sopir bisa berjalan. Tanganku bergetar memegang kemudi. ‘Ya, Allah apa aku mau bunuh diri. Aku kan baru bisa menghidupkan doang. Berhentinya gimana? Itupun aku belajar dua tahun yang lalu. Parahnya lagi ada wanita hamil yang mau melahirkan di dalam mobil.’
                Pikiranku benar-benar kacau. Aku akan berusaha mengantar sang istri yang sedang hamil itu ke rumah sakit yang masih jauh. Aku menambah kecepatan melewati tiga desa dan melaju kencang ke keramaian pasar. Mau tidak mau aku harus melewati pasar yang padat dengan mobil angkot dan pedagang berkaki lima, eh pedagang kaki lima. Tapi, wajar sih disebut pedagang berkaki lima, karena mereka suka berpindah-pindah walaupun sering ditertibkan pasukan keamanan. Seperti memiliki lima kaki, jadi nggak apa-apa disebut pedagang berkaki lima juga. Ngapain mikirin tukang dagang! Pikiranku kacau. Pasar terasa sangat ramai dan padat dari biasanya.  Aku menginjak kopling sedikit demi sedikit, memindahkan gigi ke gigi 1. Lalu berjalan lebih pelan.
                Aku sudah sangat lelah. Kesal dan kepanasan. Baju seragam sekolah yang masih menempel di badanku basah terkena keringat panas dan takut. Aku mengeluarkan kepalaku dari jendela mobil.
                “Woy!!!! Cepetan dong!! Saya lagi bawa orang sakit nih!!! Darurat!!!” Teriakku serak. Tenggorokanku terasa perih.
                Mobil angkot yang berjalan lambat menepi. Motor-motor melaju kencang. Semua orang memandang ke arahku. Aduh… Jadi serba salah.
                Setelah aku keluar dari pasar yang padat itu aku menambah kecetapan mobil. Plang rumah sakit sudah terlihat. Aku melambatkan laju mobil. Memasang lampu sein lalu memutar stir yang sudah loncer itu sebisa mungkin. Menginjak kopling habis lalu mengerem. Memindahkan gigi ke gigi nol. Lalu memutar kunci mobil ke arah ‘OFF’. Aku keluar dan berlari untuk memenggil perawat di ruang UGD.
                “Sus, ada ibu-ibu mau melahirkan tuh di mobil saya”
                “Ya sudah, tunggu sebentar ya”
                “Cepetan, Sus!!”
               
                Sang istri sudah dibawah ke ruang bersalin. Terdengar teriakan dan ringisan kesakitan. Aku tak tega mendengarnya. Ibuku juga pasti mengalami hal yang sama saat membewaku ke dunia yang fana ini. Sang suami menggigit jari tangannya dan terlihat cemas. Seorang petugas pembersihan sedang mengepel darah yang sempat bercucuran saat sang istri dibawa ke ruang bersalin.
                Teriakan Bu bidan mengiringi jeritan kesakitan sang istri.
                “Teruss…..Bu….Terussss….Ayo…. Masih jauh…. Terus bu……” Teriak sang bidan. Aku bertanya-tanya. Apa dulunya dia sorang tukang parkir. Berpikir membuat kepalaku terasa sakit. Aroma rumah sakit yang khas tercium tajam oleh hidungku yang baru sembuh dari pilek. Membuat perutku mual dan sakit lagi.

                “Doakan istri saya ya neng…” Kata sang suami
                “Iya Om, saya doakan kok. Om tenang aja” Jawabku. Aku sendiri khawatir…. Hatiku getir mendengar jeritan kesakitan itu…….  Para pengunjung pasien yang lain berkumpul dan terdiam. Sehingga suara jeritan dan arahan tukang parker, eh, bidan maksudku, memecah keheningan rumah sakit.

                “Eaaa…..eeeaaaa” Terdengar suara bayi. Suster yang ada didalam ruang bersalin berseru gembira.
                “Alhamdulillah…….” Teriak semua orang dari ujung koridor sampai depan pintu ruang bersalin dimana aku berdiri.
                Sang suami bersujud syukur…. Menangis, lalu jingkrak-jingkrakan….. Aku tersenyum lebar…..
                “Selamat ya Om“ Kataku. Sang suami itu memeras tanganku lalu mengayun-ayunkannya Ke atas dan ke bawah. Tubuhku terasa bergoyang poco-poco.
                “Selamat ya pak…..” Kata seorang Ibu-Ibu gemuk.
                “Selamat ya….”
                “Selamat ya pak…. Mudah-mudahan bayinya sehat…..”
                “Wah, kamu punya adek ya sekarang…….” Kata seorang bapak-bapak. Aku tertawa kecil. Dia mengira aku anaknya  si Om.
                Aku dan sang suami yang sudah menjadi sang kodok, eh sang ayah itu masuk ke dalam ruang bersalin. Sang istri yang sekarang menjadi sang Ibu terbaring lemah di atas kasur. Sang ayah menghampiri sang Ibu dengan gembira. Dia memeluk Istrinya lalu mengecup keningnya dengan mesra. Aku terharu melihatnya.
                Seorang suster menghampiri mereka sambil membawa bayi mereka. Sang Istri menggendong bayinya dengan riang. Mereka tersenyum lebar. Aku juga merasa kalau aku tersenyum lebar dan meneteskan air mata haru di pipiku. Kepalaku terasa ringan dan perutku terasa hampa…. Semoga saja berat badanku turun.
                “Terima kasih ya Neng…. Sudah menolong kami……” Kata sang Ibu dengan penuh rasa syukur.
                “Sama-sama saya senang bisa menolong”
                “Oh iya mas.  Anak perempuan kita akan diberi nama yang mana , Mas?”
                “Umm, yang mana ya….?” Sang ayah memejamkan matanya. Lalu melotot, membuatku kaget.
                “Oh, iya…. Nama kamu siapa neng?”
                “Kimberly Om….”
                “Kalau begitu namanya Siti Kimberly aja mah…. Gimana, baguskan?”
                “Bagus mas…. Ya udah yang itu aja…..” Mereka tersenyum lebih lebar lagi. Aku bengong.
                “Apa nggak salah Om, Tante namanya kok Siti Kimberly sih……??” Tanyaku.
                “Nggak apa-apa kok.Siti Kimberly itu banyak artinya. Dari Istri saya hamil muda sampai sekarang kita ribut soal nama untuk anak kita nanti. Saya ingin yang kebarat-baratan, Istri saya mau yang Islami. Siti kan berbau Islami gitu…. Kalau Kimberly kan dari luar negri namanya… Ya biar beda. Sekaligus kenangan dan tanda terimaksih sama kamu karena telah menolong kami” Jawab sang suami dengan nada bangga karena nama anaknya sangat bagus dan sesuai.

                Aku garuk-garuk kepala, padahal yang gatel kakiku karena cape menginjak rem dan gas mobil angkot butut itu…. Angkot Butut? Ya, ampun aku baru ingat! Angkotnya ada di lapangan depan rumah sakit. Tanpa sopir. Bahkan aku tak tahu si sopir ada dimana. Perutku terasa sakit lagi. Kepalaku berputar-putar memikirkannya. Aduh…. Gimana nih?
               
                “Om, Tante mobil angkotnya gimana?” Tanyaku, lesu.
                “Ya, amplop! Kita udah hampir sejam ada disini…. Saya juga jadi lupa”
                “Mas, kasihan si sopir”
                “Iya mah…. Ya, udah Mas mau nyari si sopir sama Kimberly dulu ya…. Mamah disinia aja baik-baik, nanti juga keluarga kita pada dating. Ya, mah”
                “Iya Mas…. Hati-hati ya mas”
                “Aduh…. Om, nggak usah repot. Biar saya ke tempat kita berhenti aja. Mungkin si sopir lagi nunggu mobilnya. Om disini aja nunggu tantenya”
                “Jangan Kim. Bahaya, Tante nggak apa-apa kok sendirian. Dari pada kamu sendirian”
                “Iya, bener apa kata Istri saya… Ayo cepet…” Ajak sang suami padaku.

                Kami berjalan cepat menuju mobil angkot itu diparkirkan, tepatnya didepan UGD rumah sakit. Aku masih memikirkan si empunya mobil angkot itu dan cara mengembalikkan mobil itu padanya. Perutku sakit sejadi-jadinya…

Waduh, gawat!!! Bagaimana nasib si sopir angkot? Tunggu cerita selanjutnya ya!!!Baca lewat note FB click here!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar