Kepalaku berputar, mengingat kejadian dua tahun yang
lalu. Saat aku belajar menyetir mobil dengan mobil baru kakekku. Aku naik ke
dalam mobil. Kuci yang masih tertanam di dalam lubang aku putar ke arah ‘ON’.
“Neng
bisa nyetir mobil? Ayo cepat antar istri saya ke rumah sakit” Kata sang suami.
Matanya berkilau penuh harapan, sedangkan sang istri mengaduh lagi, meringis
dan menjerit. Oh, aku merasa iba….
Aku menurunkan rem tanagan. Lalu menginjak
kopling habis, memindahkan gigi ke gigi satu. Dengan ragu-ragu aku menginjak
gas perlahan-alahan. Aneh bin ajaib mobil angkot butut yang masih ada bau kentut
si sopir bisa berjalan. Tanganku bergetar memegang kemudi. ‘Ya, Allah apa aku
mau bunuh diri. Aku kan baru bisa menghidupkan doang. Berhentinya gimana?
Itupun aku belajar dua tahun yang lalu. Parahnya lagi ada wanita hamil yang mau
melahirkan di dalam mobil.’
Pikiranku
benar-benar kacau. Aku akan berusaha mengantar sang istri yang sedang hamil itu
ke rumah sakit yang masih jauh. Aku menambah kecepatan melewati tiga desa dan
melaju kencang ke keramaian pasar. Mau tidak mau aku harus melewati pasar yang
padat dengan mobil angkot dan pedagang berkaki lima, eh pedagang kaki lima.
Tapi, wajar sih disebut pedagang berkaki lima, karena mereka suka
berpindah-pindah walaupun sering ditertibkan pasukan keamanan. Seperti memiliki
lima kaki, jadi nggak apa-apa disebut pedagang berkaki lima juga. Ngapain
mikirin tukang dagang! Pikiranku kacau. Pasar terasa sangat ramai dan padat
dari biasanya. Aku menginjak kopling
sedikit demi sedikit, memindahkan gigi ke gigi 1. Lalu berjalan lebih pelan.
Aku
sudah sangat lelah. Kesal dan kepanasan. Baju seragam sekolah yang masih
menempel di badanku basah terkena keringat panas dan takut. Aku mengeluarkan
kepalaku dari jendela mobil.
“Woy!!!!
Cepetan dong!! Saya lagi bawa orang sakit nih!!! Darurat!!!” Teriakku serak.
Tenggorokanku terasa perih.
Mobil
angkot yang berjalan lambat menepi. Motor-motor melaju kencang. Semua orang
memandang ke arahku. Aduh… Jadi serba salah.
Setelah
aku keluar dari pasar yang padat itu aku menambah kecetapan mobil. Plang rumah
sakit sudah terlihat. Aku melambatkan laju mobil. Memasang lampu sein lalu
memutar stir yang sudah loncer itu sebisa mungkin. Menginjak kopling habis lalu
mengerem. Memindahkan gigi ke gigi nol. Lalu memutar kunci mobil ke arah ‘OFF’.
Aku keluar dan berlari untuk memenggil perawat di ruang UGD.
“Sus,
ada ibu-ibu mau melahirkan tuh di mobil saya”
“Ya
sudah, tunggu sebentar ya”
“Cepetan,
Sus!!”
Sang
istri sudah dibawah ke ruang bersalin. Terdengar teriakan dan ringisan
kesakitan. Aku tak tega mendengarnya. Ibuku juga pasti mengalami hal yang sama
saat membewaku ke dunia yang fana ini. Sang suami menggigit jari tangannya dan
terlihat cemas. Seorang petugas pembersihan sedang mengepel darah yang sempat
bercucuran saat sang istri dibawa ke ruang bersalin.
Teriakan
Bu bidan mengiringi jeritan kesakitan sang istri.
“Teruss…..Bu….Terussss….Ayo….
Masih jauh…. Terus bu……” Teriak sang bidan. Aku bertanya-tanya. Apa dulunya dia
sorang tukang parkir. Berpikir membuat kepalaku terasa sakit. Aroma rumah sakit
yang khas tercium tajam oleh hidungku yang baru sembuh dari pilek. Membuat
perutku mual dan sakit lagi.
“Doakan
istri saya ya neng…” Kata sang suami
“Iya
Om, saya doakan kok. Om tenang aja” Jawabku. Aku sendiri khawatir…. Hatiku
getir mendengar jeritan kesakitan itu…….
Para pengunjung pasien yang lain berkumpul dan terdiam. Sehingga suara
jeritan dan arahan tukang parker, eh, bidan maksudku, memecah keheningan rumah
sakit.
“Eaaa…..eeeaaaa”
Terdengar suara bayi. Suster yang ada didalam ruang bersalin berseru gembira.
“Alhamdulillah…….”
Teriak semua orang dari ujung koridor sampai depan pintu ruang bersalin dimana
aku berdiri.
Sang
suami bersujud syukur…. Menangis, lalu jingkrak-jingkrakan….. Aku tersenyum
lebar…..
“Selamat
ya Om“ Kataku. Sang suami itu memeras tanganku lalu mengayun-ayunkannya Ke atas
dan ke bawah. Tubuhku terasa bergoyang poco-poco.
“Selamat
ya pak…..” Kata seorang Ibu-Ibu gemuk.
“Selamat
ya….”
“Selamat
ya pak…. Mudah-mudahan bayinya sehat…..”
“Wah,
kamu punya adek ya sekarang…….” Kata seorang bapak-bapak. Aku tertawa kecil. Dia
mengira aku anaknya si Om.
Aku
dan sang suami yang sudah menjadi sang kodok, eh sang ayah itu masuk ke dalam
ruang bersalin. Sang istri yang sekarang menjadi sang Ibu terbaring lemah di
atas kasur. Sang ayah menghampiri sang Ibu dengan gembira. Dia memeluk Istrinya
lalu mengecup keningnya dengan mesra. Aku terharu melihatnya.
Seorang
suster menghampiri mereka sambil membawa bayi mereka. Sang Istri menggendong
bayinya dengan riang. Mereka tersenyum lebar. Aku juga merasa kalau aku
tersenyum lebar dan meneteskan air mata haru di pipiku. Kepalaku terasa ringan
dan perutku terasa hampa…. Semoga saja berat badanku turun.
“Terima
kasih ya Neng…. Sudah menolong kami……” Kata sang Ibu dengan penuh rasa syukur.
“Sama-sama
saya senang bisa menolong”
“Oh
iya mas. Anak perempuan kita akan diberi
nama yang mana , Mas?”
“Umm,
yang mana ya….?” Sang ayah memejamkan matanya. Lalu melotot, membuatku kaget.
“Oh,
iya…. Nama kamu siapa neng?”
“Kimberly
Om….”
“Kalau
begitu namanya Siti Kimberly aja mah…. Gimana, baguskan?”
“Bagus
mas…. Ya udah yang itu aja…..” Mereka tersenyum lebih lebar lagi. Aku bengong.
“Apa
nggak salah Om, Tante namanya kok Siti Kimberly sih……??” Tanyaku.
“Nggak
apa-apa kok.Siti Kimberly itu banyak artinya. Dari Istri saya hamil muda sampai
sekarang kita ribut soal nama untuk anak kita nanti. Saya ingin yang
kebarat-baratan, Istri saya mau yang Islami. Siti kan berbau Islami gitu…. Kalau
Kimberly kan dari luar negri namanya… Ya biar beda. Sekaligus kenangan dan
tanda terimaksih sama kamu karena telah menolong kami” Jawab sang suami dengan
nada bangga karena nama anaknya sangat bagus dan sesuai.
Aku
garuk-garuk kepala, padahal yang gatel kakiku karena cape menginjak rem dan gas
mobil angkot butut itu…. Angkot Butut? Ya, ampun aku baru ingat! Angkotnya ada
di lapangan depan rumah sakit. Tanpa sopir. Bahkan aku tak tahu si sopir ada
dimana. Perutku terasa sakit lagi. Kepalaku berputar-putar memikirkannya.
Aduh…. Gimana nih?
“Om,
Tante mobil angkotnya gimana?” Tanyaku, lesu.
“Ya,
amplop! Kita udah hampir sejam ada disini…. Saya juga jadi lupa”
“Mas,
kasihan si sopir”
“Iya
mah…. Ya, udah Mas mau nyari si sopir sama Kimberly dulu ya…. Mamah disinia aja
baik-baik, nanti juga keluarga kita pada dating. Ya, mah”
“Iya
Mas…. Hati-hati ya mas”
“Aduh….
Om, nggak usah repot. Biar saya ke tempat kita berhenti aja. Mungkin si sopir
lagi nunggu mobilnya. Om disini aja nunggu tantenya”
“Jangan
Kim. Bahaya, Tante nggak apa-apa kok sendirian. Dari pada kamu sendirian”
“Iya, bener apa kata Istri saya…
Ayo cepet…” Ajak sang suami padaku.
Kami
berjalan cepat menuju mobil angkot itu diparkirkan, tepatnya didepan UGD rumah
sakit. Aku masih memikirkan si empunya mobil angkot itu dan cara mengembalikkan
mobil itu padanya. Perutku sakit sejadi-jadinya…
Waduh, gawat!!! Bagaimana nasib si sopir angkot? Tunggu cerita selanjutnya ya!!!Baca lewat note FB click here!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar