Selasa, 27 September 2011

Recall (You've Been Choosen) Part 1


                Konsep cerita ini adalah horror dan pshyco. Selamat membaca dan mohon kritik dan sarannya :)
                 
                Malam hari di pinggiran kota selalu sama, suasana lembap dan sunyi menyelimuti gang sempit yang kumuh dan kotor. Orang-orang memakai pakaian hangat mereka untuk melindungi tubuh mereka dari udara malam yang sangat dingin. Mereka pergi menuju tempat yang sama, yaitu bar. Mereka mengahangatkan tubuh mereka sambil meminum beer, melepas lelah dan penat setelah seharian bekerja. Kebiasaan penduduk pinggir kota di musim dingin. Tapi, tak semua orang menikmati malam di dalam bar yang hangat. Beberapa tunawisma duduk di pinggiran gang, tiga tunawisma pria menghisap rokok mereka yang hampir habis, sedangkan seorang tunawisma perempuan asik meminum beer dari dalam kaleng sambil mengawasi orang-orang yang lewat di hadapan mereka.
                “Kau baru belajar, sudah mendapatkan 100 dollar, hebat! Kau memiliki bakat yang sama dengan pamanmu” Kata seorang pria berkumis coklat tebal bernama Matt.
                “Terima kasih, itu semua karena saran dan instruksi dari kalian. Aku tahu siapa ahlinya” Ujar Jeje sambil tersenyum. Pipinya merona merah.
                “Kau ingin mencoba lagi malam ini?” Tanya pria kurus bernama Brad.
                “Tentu, sedari tadi aku sedang mencari mangsa. Tapi, kupikir orang-orang yang lewat disini hanya membawa uang sedikit untuk membeli beer murah” Jawab Jeje.
                “Tentu saja mereka membawa sedikit uang, ini pertengahan bulan. Mereka pasti menghemat pengeluaran agar bisa bertahan hidup sampai pemabgian gaji berikutnya” Kata seorang pria pendek berkepala botak bernama Clark.
                “Hah! Mantan pekerja kantor tahu segalanya, pekerja kantor yang malang maksudku, malang sekali!” Kata Matt sambil mendorong Clark.
                “Hahaha, pekerja kantor macam apa yang berakhir menjadi seorang penjahat!” Seru Jeje.
                “Karyawan yang bodoh!” Seru Matt. Jeje dan Matt tertawa.      
“Diam kalian!” Teriak Clark.
“Ssssttt! Arah jam Sembilan!” Seru Brad pada teman-temannya. Seorang nenek-nenek sedang berdiri dibawah lampu jalan yang agak buram karena tertutup salju. Baju hangatnya tak cukup tebal untuk menyembunyikan perhiasan di pergelangan tangan dan lehernya. Kedua tangannya memegang erat tas tangan hitam besar.
“Wanita yang cantik, Bard! Kau ingin berkencan dengannya? Haha” Kata Jeje.
“Iya, kalau dia wanita yang kaya raya. Ini aksimu Je, ayo!” Perintah Brad sambil tersenyum sisnis penuh kemenangan.
Mereka menghampiri nenek-nenek itu setelah yakin keadaan sekitar sudah aman. Brad, Matt dan Clark berjaga di tiga sudut jalan. Jeje menghampiri nenek itu.
“Serahkan tasmu! Lepaskan semua perhiasanmu! Cepat!” Perintah Jeje.
“Mau apa kau!” Teriak nenek itu.
“Aku bilang, serahkan tas dan semua perhiasanmu!” Teriak Jeje, kesal.
“Tidak! Pergi kau! Tolong!” Teriak sang nenek.
“Mau melawan ya? Hah! Tak akan ada yang menolongmu nenek tua!” Teriak Jeje. Dia menodongkan pisaunya yang mengilat.
“Tolong!” Teriak nenek itu dengan suara serak.
“Berisik kau orang tua!” Jeje mencengkeram tas tangan warna hitam milik sang nenek. Berusaha merebutnya, tentu saja nenek itu kalah. Jeje pun berhasil merebut tas sang nenek. Kemudian Jeje merebut gelang emas yang melingkari tangannya yang sudah kriput. Setelah berhasil merampas gelang, Jeje mencoba merebut kalung sang nenek.
“Jangan! Jangan ambil kalungku! Jangan!” Teriak sang nenek sambil memegang erat kalung yang melingkar di lehernya.
“Berisik kau nenek tua!” Jeje kehilangan kesabaran, pisau tajamnya menggores leher sang nenek. Darah menyembur keluar dari leher sang nenek. Jeje terbelalak kaget.
“Jeje, apa yang kau lakukan?” Tanya Matt, kaget. Jeje memegang tangan sang nenek, tubuh tua sang nenek pun terjatuh di atas salju yang turun sore tadi. Jeje tak melepaskan genggaman tangannya, dia ikut terjatuh diatas salju. Dia masih kaget, tangannya bergetar.
“Seseorang datang” Bisik Clark yang berjaga di sudut gang.
“Seseorang datang, ayo cepat pergi!” Perintah Clark.
“Je, ambil kalungnya!” Perintah Matt. Jeje terdiam. Matt mengambil tas dan gelang yang tergeletak diatas salju.
“Je, apa yang kau lakukan! Cepat ambil kalungnya! Seseorang datang!!” Perintah Matt, ketakutan. Tubuh Jeje menggigil, tangannya yang menggenggam tangan sang nenek bergetar hebat. Matanya terbelalak melihat leher sang nenek yang robek karena sayatan pisaunya. Jeje berusaha mengambil kalung dari leher sang nenek yang penuh dengan darah segar. Tangan Jeje tak berhenti bergetar, dia tak bisa mengambil kalungnya. Jeje terlalu ketakuatan.
“Ayo!!!” Teraiak Clark. Jeje pun lari mengikuti teman-temannya tanpa kalung sang nenek. Jeje masih ketakutan, tangannya penuh darah. Wajah sang nenek yang sudah meninggal melintas di kepalanya.
Mereka berlari beberapa blok, kemudian masuk ke sebuah gang sempit yang gelap menuju sebuah gudang tua yang dipenuhi rongsokan dan sampah.
“Kau mendapatkan kalungnya?” Tanya Matt. Jeje menggelengkan kepalanya, matanya menatap kedua tangannya yang berlumuran darah.
“Kenapa kau tak mengambilnya!” Teriak Matt, serak.
“Maafkan aku” Kata Jeje. Seorang pria bernama Van mengahampiri mereka.
“Ada apa ini?” Tanya Van.
“Ya ampun, Jeje! Kau berdarah! Apa yang terjadi?” Teriak Van, panic.
“Itu bukan darahnya” Jawab Matt.
“Lalu darah siapa?”
“Itu darah seorang nenek yang dia bunuh tadi” Jawab Matt.
“Apa! Kau membunuh seorang nenek. Ah sudahlah, bersihkan tanganmu, pergilah tidur!” Perintah Van pada keponakan perempuannya itu. Jeje masuk ke dalam gudang tua tempat tinggal barunya. Jeje membersihkan darah dari tangannya dengan air dari kran kecil yang ada di sudut gudang. Kemudian dia membaringakan tubuhnya diatas sebuah papan diantara kerangka-kerangka mobil bekas.

                Keesokan harinya, matahari bersinar cukup terang untuk mengahangatkan tubuh. Mungkin musim dingin akan segera berakhir beberapa hari lagi. Jeje mangambil sekaleng beer, kemudian duduk disamping pamannya, Van.
                “Kau tak apa, kan?” Tanya Van, khawatir. Jeje menganggukkan kepalanya.
                “Matt sudah bercerita padaku tentang kejadian tadi malam” Kata Van.
                “Maaf aku tak bisa mengambil kalungnya” Ujar Jeje.
                “Taka pa. Tas dan gelang sudah lebih dari cukup. Uangnya ada banyak, mungkin kita harus membeli puluhan peti beer agar uangnya bisa habis”
                “Sebanyak itukah?”
                “Ya, dan akau hendak menjual gelangnya ke kota besok. Ini, ambil bagianmu, kau bisa membeli barang yang kau perlukan” Kata Van sambil menyerahkan puluhan dollar kepada Jeje. Van pergi meninggalkannya. Kemudian Matt menghampirinya dan duduk di sampingnya.
                “Kau baik-baik saja, Je?” Tanya Matt.
                “Ya, mungkin” Jawab Jeje, datar. Kemudian meminum beernya.
                “Kau tak usah takut. Aku juga pernah membunuh orang” Kata Matt.
                “Apa! Siapa?” Tanya Jeje, penasaran.
                “Kau tak usah tahu, aku akan merasa terhina jika menceritakannya padamu” Jawab Matt. Dia tersenyum sambil mengacak-acak rambut pendek Jeje, kemudian pergi.
                Sebenarnya, Jeje masih ketakutan akan kejadian semalam. Kepalanya masih dibayangi wajah sang nenek yang penuh dengan darah. Jeje ingin menceritakan ketakutannya itu, tapi dia tak ingin Van dan yang lainnya menganggapnya pengecut. ‘Hidupku selama ini aku lalui di neraka, aku harus bisa mengendalikan diriku’ Batin Jeje.

Bersambung.....Mau baca lewat note FB?  Klik Disisni dan disini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar