Konsep cerita ini adalah horror dan pshyco. Selamat membaca dan mohon kritik dan sarannya :)
Malam hari di pinggiran kota selalu sama, suasana lembap
dan sunyi menyelimuti gang sempit yang kumuh dan kotor. Orang-orang memakai
pakaian hangat mereka untuk melindungi tubuh mereka dari udara malam yang
sangat dingin. Mereka pergi menuju tempat yang sama, yaitu bar. Mereka
mengahangatkan tubuh mereka sambil meminum beer, melepas lelah dan penat
setelah seharian bekerja. Kebiasaan penduduk pinggir kota di musim dingin.
Tapi, tak semua orang menikmati malam di dalam bar yang hangat. Beberapa
tunawisma duduk di pinggiran gang, tiga tunawisma pria menghisap rokok mereka
yang hampir habis, sedangkan seorang tunawisma perempuan asik meminum beer dari
dalam kaleng sambil mengawasi orang-orang yang lewat di hadapan mereka.
“Kau
baru belajar, sudah mendapatkan 100 dollar, hebat! Kau memiliki bakat yang sama
dengan pamanmu” Kata seorang pria berkumis coklat tebal bernama Matt.
“Terima
kasih, itu semua karena saran dan instruksi dari kalian. Aku tahu siapa
ahlinya” Ujar Jeje sambil tersenyum. Pipinya merona merah.
“Kau
ingin mencoba lagi malam ini?” Tanya pria kurus bernama Brad.
“Tentu,
sedari tadi aku sedang mencari mangsa. Tapi, kupikir orang-orang yang lewat
disini hanya membawa uang sedikit untuk membeli beer murah” Jawab Jeje.
“Tentu
saja mereka membawa sedikit uang, ini pertengahan bulan. Mereka pasti menghemat
pengeluaran agar bisa bertahan hidup sampai pemabgian gaji berikutnya” Kata
seorang pria pendek berkepala botak bernama Clark.
“Hah!
Mantan pekerja kantor tahu segalanya, pekerja kantor yang malang maksudku, malang
sekali!” Kata Matt sambil mendorong Clark.
“Hahaha,
pekerja kantor macam apa yang berakhir menjadi seorang penjahat!” Seru Jeje.
“Karyawan
yang bodoh!” Seru Matt. Jeje dan Matt tertawa.
“Diam kalian!” Teriak Clark.
“Ssssttt! Arah jam Sembilan!”
Seru Brad pada teman-temannya. Seorang nenek-nenek sedang berdiri dibawah lampu
jalan yang agak buram karena tertutup salju. Baju hangatnya tak cukup tebal
untuk menyembunyikan perhiasan di pergelangan tangan dan lehernya. Kedua
tangannya memegang erat tas tangan hitam besar.
“Wanita yang cantik, Bard! Kau
ingin berkencan dengannya? Haha” Kata Jeje.
“Iya, kalau dia wanita yang kaya
raya. Ini aksimu Je, ayo!” Perintah Brad sambil tersenyum sisnis penuh
kemenangan.
Mereka menghampiri nenek-nenek
itu setelah yakin keadaan sekitar sudah aman. Brad, Matt dan Clark berjaga di
tiga sudut jalan. Jeje menghampiri nenek itu.
“Serahkan tasmu! Lepaskan semua
perhiasanmu! Cepat!” Perintah Jeje.
“Mau apa kau!” Teriak nenek itu.
“Aku bilang, serahkan tas dan
semua perhiasanmu!” Teriak Jeje, kesal.
“Tidak! Pergi kau! Tolong!”
Teriak sang nenek.
“Mau melawan ya? Hah! Tak akan ada
yang menolongmu nenek tua!” Teriak Jeje. Dia menodongkan pisaunya yang
mengilat.
“Tolong!” Teriak nenek itu
dengan suara serak.
“Berisik kau orang tua!” Jeje
mencengkeram tas tangan warna hitam milik sang nenek. Berusaha merebutnya,
tentu saja nenek itu kalah. Jeje pun berhasil merebut tas sang nenek. Kemudian
Jeje merebut gelang emas yang melingkari tangannya yang sudah kriput. Setelah
berhasil merampas gelang, Jeje mencoba merebut kalung sang nenek.
“Jangan! Jangan ambil kalungku!
Jangan!” Teriak sang nenek sambil memegang erat kalung yang melingkar di
lehernya.
“Berisik kau nenek tua!” Jeje
kehilangan kesabaran, pisau tajamnya menggores leher sang nenek. Darah
menyembur keluar dari leher sang nenek. Jeje terbelalak kaget.
“Jeje, apa yang kau lakukan?”
Tanya Matt, kaget. Jeje memegang tangan sang nenek, tubuh tua sang nenek pun
terjatuh di atas salju yang turun sore tadi. Jeje tak melepaskan genggaman
tangannya, dia ikut terjatuh diatas salju. Dia masih kaget, tangannya bergetar.
“Seseorang datang” Bisik Clark
yang berjaga di sudut gang.
“Seseorang datang, ayo cepat
pergi!” Perintah Clark.
“Je, ambil kalungnya!” Perintah
Matt. Jeje terdiam. Matt mengambil tas dan gelang yang tergeletak diatas salju.
“Je, apa yang kau lakukan! Cepat
ambil kalungnya! Seseorang datang!!” Perintah Matt, ketakutan. Tubuh Jeje
menggigil, tangannya yang menggenggam tangan sang nenek bergetar hebat. Matanya
terbelalak melihat leher sang nenek yang robek karena sayatan pisaunya. Jeje
berusaha mengambil kalung dari leher sang nenek yang penuh dengan darah segar.
Tangan Jeje tak berhenti bergetar, dia tak bisa mengambil kalungnya. Jeje
terlalu ketakuatan.
“Ayo!!!” Teraiak Clark. Jeje pun
lari mengikuti teman-temannya tanpa kalung sang nenek. Jeje masih ketakutan,
tangannya penuh darah. Wajah sang nenek yang sudah meninggal melintas di
kepalanya.
Mereka berlari beberapa blok,
kemudian masuk ke sebuah gang sempit yang gelap menuju sebuah gudang tua yang
dipenuhi rongsokan dan sampah.
“Kau mendapatkan kalungnya?”
Tanya Matt. Jeje menggelengkan kepalanya, matanya menatap kedua tangannya yang
berlumuran darah.
“Kenapa kau tak mengambilnya!”
Teriak Matt, serak.
“Maafkan aku” Kata Jeje. Seorang
pria bernama Van mengahampiri mereka.
“Ada apa ini?” Tanya Van.
“Ya ampun, Jeje! Kau berdarah!
Apa yang terjadi?” Teriak Van, panic.
“Itu bukan darahnya” Jawab Matt.
“Lalu darah siapa?”
“Itu darah seorang nenek yang
dia bunuh tadi” Jawab Matt.
“Apa! Kau membunuh seorang
nenek. Ah sudahlah, bersihkan tanganmu, pergilah tidur!” Perintah Van pada
keponakan perempuannya itu. Jeje masuk ke dalam gudang tua tempat tinggal
barunya. Jeje membersihkan darah dari tangannya dengan air dari kran kecil yang
ada di sudut gudang. Kemudian dia membaringakan tubuhnya diatas sebuah papan
diantara kerangka-kerangka mobil bekas.
Keesokan
harinya, matahari bersinar cukup terang untuk mengahangatkan tubuh. Mungkin
musim dingin akan segera berakhir beberapa hari lagi. Jeje mangambil sekaleng
beer, kemudian duduk disamping pamannya, Van.
“Kau
tak apa, kan?” Tanya Van, khawatir. Jeje menganggukkan kepalanya.
“Matt
sudah bercerita padaku tentang kejadian tadi malam” Kata Van.
“Maaf
aku tak bisa mengambil kalungnya” Ujar Jeje.
“Taka
pa. Tas dan gelang sudah lebih dari cukup. Uangnya ada banyak, mungkin kita
harus membeli puluhan peti beer agar uangnya bisa habis”
“Sebanyak
itukah?”
“Ya,
dan akau hendak menjual gelangnya ke kota besok. Ini, ambil bagianmu, kau bisa
membeli barang yang kau perlukan” Kata Van sambil menyerahkan puluhan dollar
kepada Jeje. Van pergi meninggalkannya. Kemudian Matt menghampirinya dan duduk
di sampingnya.
“Kau
baik-baik saja, Je?” Tanya Matt.
“Ya,
mungkin” Jawab Jeje, datar. Kemudian meminum beernya.
“Kau
tak usah takut. Aku juga pernah membunuh orang” Kata Matt.
“Apa!
Siapa?” Tanya Jeje, penasaran.
“Kau
tak usah tahu, aku akan merasa terhina jika menceritakannya padamu” Jawab Matt.
Dia tersenyum sambil mengacak-acak rambut pendek Jeje, kemudian pergi.
Sebenarnya,
Jeje masih ketakutan akan kejadian semalam. Kepalanya masih dibayangi wajah
sang nenek yang penuh dengan darah. Jeje ingin menceritakan ketakutannya itu,
tapi dia tak ingin Van dan yang lainnya menganggapnya pengecut. ‘Hidupku selama
ini aku lalui di neraka, aku harus bisa mengendalikan diriku’ Batin Jeje.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar